DIRGAHAYU INDONESIA-ku – Dengan Semangat Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Kita Kerja Nyata dan Kerja Bersama semoga Indonesia Makin Maju dan Sejahtera..... Mari kita wujudkan BEKASI BERSINAR (BERSIH, SEHAT, INOVATIF, AMAN DAN RELIGIUS)

Minggu, 12 Juni 2016

KEBIJAKAN DAN STRATEGI POLMAS POLRI

1)    Membangun kemitraan antara Polisi dan Masyarakat.

2)  Menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat lokal.

Sebagai suatu falsafah, Polmas mengandung makna “suatu model perpolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusian dan menampilkan sikap santun dan saling mengahargai antara Polisi dan Warga dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi Kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat”.

3)  Perwujudan Polmas.

a. Model Polmas dapat mengambil bentuk :

1) Model wilayah yaitu yang mencakup satu atau gabungan beberapa area/kawasan pemukiman ( RW / RK / dusun / desa / kelurahan ). Pembentukan Polmas model ini harus lebih didasarkan pada keinginan masyarakat itu sendiri, walaupun proses ini bisa saja dilatarbelakangi oleh dorongan Polisi.

2) Model kawasan yaitu satu kesatuan area kegiatan bisnis dengan pembatasan yang jelas (mall/pusat perdagangan/pertokoan/perkantoran/kawasan industri). Pembentukan Polmas model ini dapat dilakukan inisiatif bersama.

b. Pembentukan Polmas mempersyaratkan :

1) Adanya seorang petugas Polmas yang ditugaskan secara tetap untuk model kawasan.

2) Model kawasan mempersyaratkan adanya “Pos” (balai) sebagai pusat layanan Kepolisian sedangkan model wilayah dapat memanfaatkan fasilitas yang tersedia pada kantor desa/kelurahan atau tempat tinggal Polmas.

3) Adanya suatu forum kemitraan yang keanggotaannya mencerminkan keterwakilan semua unsur dalam masyarakat termasuk petugas Polmas dan Pemerintah setempat.

c. Perwujudan Polmas sebagai suatu falsafah merasuk dalam sikap dan perilaku setiap anggota Polri yang mencerminkan pendekatan kemanusiaan baik dalam pelaksanaan tugas pelayanan Kepolisian maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

4. Operasionalisasi Polmas.

a. Prinsip-prinsip operasionalisasi Polmas meliputi :

1) Transfarasi dan akuntabilitas :

Operasionalisasi Polmas oleh petugas Polmas dan forum kemitraan harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat setempat.

2) Partisipasi dan kesetaraan :

Operasionalisasi Polmas harus dibangun atas dasar kemitraan yang serta dan saling mendukung dengan menjamin keikutsertaan warga dalam proses pengambilan keputusan dan menghargai perbedaan pendapat.

3) Personalisasi :

Petugas Polmas dituntut untuk memberikan layanan kepada setiap warga dengan lebih menekankan pendekatan pribadi daripada hubungan formal yang kaku dengan menciptakan hubungan yang dekat dan saling kenal diantara mereka.

4) Penugasan permanen :

Penempatan anggota Polri sebagai petugas Polmas merupakan penugasan yang permanen untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga memiliki kesempatan untuk membangun kemitraan dengan warga masyarakat dalam wilayah yurisdiksi yang jelas batas-batasnya.

5) Desentralisasi dan otonomisasi :

Operasionalisasi Polmas Mensyaratkan adanya desentralisasi kewenangan yang meliputi pemberian tanggung jawab dan otoritas kepada petugas Polmas dan forum kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) sehingga merupakan pranata yang bersifat otonom dalam mengambil langkah-langkah pemecahan masalah termasuk penyelesaian konflik antar warga maupun antar warga dengan Polisi/Pejabat setempat.

b. Keefektifan operasionalisasi Polmas ditentukan oleh hal-hal sebagi berikut :

1) Perubahan pendekatan manajerial yang meliputi :

a) Kapolsek bertanggung-jawab untuk menunjang keberhasilan petugas Polmas.

b) Kapolres beserta staf terkait bertanggung jawab untuk memperoleh dan menyediakan sumber daya dan dukungan yang perlukan untuk pemecahan masalah.

2) Perubahan persepsi dikalangan segenap anggota Kepolisian setempat bahwa masyarakat adalah stakeholder bukan saja kepada siapa Polisi memberikan layanan tetapi juga kepada siapa mereka bertanggung jawab.

3) Pelaksanaan tugas setiap anggota satuan fungsi operasional Polri harus dijiwai dengan semangat “melayani dan melindungi” sebagai suatu kewajiban profesi.

4) Kerjasama dan dukungan Pemerintah Daerah dan DPRD serta segenap komponen terkait, yaitu : Instansi Pemerintah terkait, pengusaha, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan (termasuk LSM) dan media massa (media elektronik dan media cetak).

III ARAH DAN KEBIJAKAN

1. Tujuan penerapan Polmas

a. Tujuan penerepan Polmas adalah terwujudnya kerjasama Polisi dan Masyarakat lokal (komunitas) untuk menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketentraman umum dalam kehidupan masyarakat setempat.

b. Menanggulangi kejahatan dan ketidak tertiban sosial mengandung makna bukan hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban yang bersumber dari komunitas itu sendiri serta dalam batas-batas tertentu mengambil tindakan pertama jika terjadi kejahatan atau bahkan menyelesaikan pertikaian antar warga sehingga tidak memerlukan penanganan melalui proses formal dalam sistem peradilan pidana.

c. Menciptakan ketentraman umum mengandung makna bahwa yang dituju oleh Polmas bukan hanya sekedar ketiadaan gangguan faktual terhadap keamanan dan ketertiban tetapi juga perasaan takut warga dalam kehidupan bersama dalam komunitas mereka.

d. Kerjasama Polisi dan masyarakat mengandung makna bukan sekedar bekerja bersama dalam operasionalisasi penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban sosial tetapi juga meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup keseluruhan proses manajemen, mulai dari perencanaan sampai pengawasan/pengendalian dan analisis/evaluasi atas pelaksanaanya. Karena itu, sebagai suatu tujuan, kerjasama tersebut merupakan proses yang terus menerus tanpa akhir.

2. Sasaran Penempatan Polmas

a. Untuk memungkinkan terbangunnya kerjasama yang menjadi tujuan penempatan polmas maka sasaran yang harus dicapai adalah membangun Polri yang dapat dipercaya oleh warga setempat dan membagun komunitas yang siap bekerjasama dengan Polri dalam meniadakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban serta menciptakan ketentraman warga setempat.

b. Polri yang dapat dipercaya tercermin dari sikap dan perilaku segenap personel Polri, baik dalam kehidupan pribadi sebagai bagian dari komunitas maupun dalam pelaksanaan tugas mereka, yang menyadari bahwa warga komunitas adalah Stakeholder kepada siapa mereka dituntut untuk menyajikan layanan Kepolisian sebagaimana mestinya.

c. Komunitas yang siap bekerjasama adalah kesatuan kehidupan bersama warga yang walaupun dengan latar belakang kepentingan yang berbeda memahami umum merupakan tanggung jawab bersama antar warga dan antara warga dengan Polisi.

3. Kebijakan Penerapan Polmas

a. Sebagaimana diutarakan sebelumnya, Polmas bukan hanya semacam program dalam penyelenggaraan fungsi Kepolisian tetapi merupakan suatu metafora yang menuntut perubahan yang mendasar ke arah personalisasi penyajian layanan Kepolisian. Perubahan demikian sudah barang tentu akan membawa konsekuensi dalam pelaksanaan tugas Polri sebagai aparat penegak hukum dalam suatu masyarakat demokratis yang menjunjung supremasi hukum seperti di Indonesia. Oleh karena itu kebijakan dasar yang harus diletakkan adalah bahwa penerapan Polmas hanya direalisasikan pada level local terutama lingkungan komunitas yang mencerminkan keidupan bersama yang komunitarian.

b. Penerapan Polmas secara local tidak berarti bahwa prosesnya hanya dilakukan terbatas pada tataran operasionbal tetapi harus berlandaskan pada kebijakan yang komprehensif mulai dari tataran konseptual pada level manajemen puncak.

c. Sebagai suatu pendekatan yang bersifat komprehensif maka kebijakan penerapan Polmas menyangkut bidang-bidang organisasi/kelembagaan, manajemen sumberdaya manusia, manajemen logistik, dan manajemen anggaran/keuangan serta manajemen operasional Polri.

d. Dalam bidang organisasi/kelembagaan, kebijakan yang digariskan meliputi :

1) Penyelenggaraan fungsi pembinaan Polmas harus distrukturkan dalam suatu wadah organisasi tersendiri yang dapat dihimpun bersama fungsi-fungsi terkait, mulai dari tingkat Markas Besar sampai sekurang-kurangnya pada tingkat Polres.

2) Petugas Polmas merupakan ujung tombak (community officer) yang berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan beroperasinya Pomas dan sekaligus penghubung antara kesatuan Polri dan komunitas setempat.

3) Penilaian keberhasilan pimpinan satuan organisasi pada tingkat operasional (Polsek/Polres) lebih ditekankan pada kemampuannya untuk mengembangkan dan menjamin keefektifan Polmas disamping aspek-aspek lainnya.

4) Penerapan Polmas memprasyaratkan adanya kesamaan komitmen dan kerjasama dengan segenap instansi terkait terutama pemerintah daerah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya local dan yang pada gilirannnya ikut memetik manfaat dari keberhasilan Polmas dalam peningkatan kesejahteraan warganya.

e. Dalam bidang manajemen sumberdaya manusia, kebijakan yang digariskan meliputi :

1) Penambahan kekuatan personel Polri harus secara bertahap memperhitungkan pemenuhan kebutuhan tenaga petugas Polmas sehingga setiap desa/kelurahan

PERPOLISIAN MASYARAKAT (POLMAS)

(COMMUNITY POLICING)

MODEL, STRATEGI DAN IMPLEMENTASINYA

I. Pendahuluan

Dalam kehidupan masyarakat madani yang bercirikan demokrasi dan supremasi hukum, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) harus mampu memberikan jaminan keamanan, ketertiban dan perlindungan hak asasi manusia kepada masyarakat serta menunjukkan transparansi dalam setiap tindakan, menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran, keadilan, kepastian dan manfaat sebagai wujud pertanggung jawaban terhadap publik (akuntabilitas publik).

Secara ”tradisional” Polri pernah mengembangkan program Bimbingan Masyarakat (Bimmas) dan program-program yang berkaitan dengan Sistem Keamanan Swakarsa (Siskamswakarsa). Program Siskamswakarsa dilakukan melalui Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling) yang meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan pendidikan dan lingkungan kerja sebagai bentuk-bentuk pengamanan Swakarsa sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Babinkamtibmas (Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) berperan sebagai ujung tombak pelaksanaan Siskamswakarsa /Siskamling. Selain membawa berbagai manfaat, pola penyelenggaraan tugas Polri yang bersifat ”pre-emtif” dengan pendekatan ”Bimmas/Babinkamtibmas” yang mencerminkan hubungan struktural ”kekuasaan” dipandang perlu untuk disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.

Proses reformasi yang telah dan sedang berlangsung menuju masyarakat sipil yang demokratis membawa berbagai perubahan di dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Polri yang saat ini sedang melaksanakan proses reformasi untuk menjadi Civilian Police (Kepolisian-sipil), harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat dengan cara merubah paradigma yang menitik beratkan pada pendekatan yang reaktif dan konvensional (kekuasaan) menuju pendekatan yang proaktif dan mendapat dukungan publik dengan mengedepankan kemitraan dalam rangka pemecahan masalah-masalah sosial. Model penyelenggaraan fungsi kepolisian tersebut dikenal dengan berbagai nama seperti Community Oriented Policing, Community Based Policing dan Neighbourhood Policing, dan akhirnya populer dengan sebutan Community Policing.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang diuraikan di atas, dipandang perlu untuk mengadopsi konsep Community Policing sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat Indonesia serta dengan cara dan dengan nama Indonesia. Tanpa mengenyampingkan kemungkinan penggunaan terjemahan istilah yang berbeda terutama bagi keperluan akademis, secara formal oleh jajaran Polri, Model tersebut diberi nama ”Perpolisian Masyarakat” dan selanjutnya secara Konseptual, Strategis, Penerapan dan operasionalisasinya (Implementasinya) disebut ”Polmas”.

II. Tinjauan Penyelenggaraan Keamanan oleh Masyarakat

1. Tinjauan Historis

a. Universal

Secara universal kelembagaan penanggulangan kriminalitas telah melekat dalam kehidupan masyarakat semenjak mencapai eksistensinya sebagai unit-unit kehidupan bersama dalam berbagai bentuk. Charles Reith dalam bukunya ”The Blind Eye of History” telah mendeskripsikan adanya fungsi memaksa dalam masyarakat yang terbentuk secara berjenjang sejak dari terbentuknya masyarakat ke dalam unit-unit sosial terkecil sampai pada tahapan pelembagaan terhadap aturan-aturan main yang telah disepakati bersama.

Begitu pula pujangga /filsuf Inggris bernama John Done pada tahun 1589 telah menulis tentang organisasi sosial yang menangani pengawasan, yang pada masa itu tersebar di berbagai unit sosial dan juga di lingkungan kekuasaan negara. Ungkapan John Done yang begitu berpengaruh dalam penataan terhadap pengamanan sosial selanjutnya berbunyi ”…Human Laws By Which Kingdoms are Policed” yang secara harfiah berarti …dengan apa kerajaan-kerajaan diperintah.

Dengan demikian secara universal sebenarnya upaya pengamanan oleh masyarakat sejak dulu telah tergelar mulai dari upaya-upaya penyelenggaraan yang dilakukan oleh masyarakat sendiri maupun oleh pemerintah. Dengan demikian secara universal telah ada penyelenggaraan keamanan oleh masyarakat dalam wujud upaya penanggulangan kriminalitas.

b. Kenyataan Historis di Indonesia

Indikator akan adanya lembaga penanggulangan kriminalitas yang melekat dalam kehidupan masyarakat ini dapat kita lihat pada pepatah Minang yang berbunyi ”Tegak berkampung memagar kampung, tegak nagari memagar nagari, tegak berbangsa memagar bangsa”. Begitu pula dengan telah diketemukannya prasasti-prasasti yang secara khusus menyebutkan adanya mekanisme pemeliharaan keamanan dan peradilan untuk kepentingan pengamanan Raja-raja seperti adanya pasukan Bhayangkara sebagaimana disebutkan kitab Negara Kertagama dan Pararaton, kiranya dapat menegaskan bahwa mekanisme pengamanan masyarakat sebagian besar dilekatkan ke dalam fungsi kemasyarakatan itu sendiri dan sebagian kecil selebihnya diselenggarakan oleh negara.

Kenyataan historis ini semakin dipertegas lagi ketika negara kita dijajah oleh kekuasaan asing (Inggris) di bawah pimpinan Raffles yang menegaskan adanya mekanisme pengamanan yang bersumber dari adat kebiasaan Jawa seperti ”Jogoboyo”, dengan mengemukakan antara lain sebagai berikut :

”…Assuming as its basic, rahter the ancient usages and institutions of the Javans, than any new innovation founded on European system of internal government …”.

Dengan kata-kata usages dan institution menunjukkan adanya kebiasaan dan adat dalam mekanisme penanggulangan kriminalitas oleh masyarakat secara mandiri atau dengan kata lain eksistensi penanggulangan kriminalitas di tingkat infrastruktur masyarakat pada waktu itu. Kenyataan ini semakin melembaga dan terbukti keampuhannya selama perjuangan merebut kemerdekaan serta upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan di sepanjang sejarah kemerdekaan Republik Indonesia.

2. Tinjauan Sosiologis

Dalam berbagai analisis sosial yang berkaitan dengan mekanisme penanggulangan kriminalitas dideskripsikan bahwa secara universal kriminalitas tidak ditolerir oleh masyarakat di manapun. Oleh karenanya setiap kasus kejahatan selalu mendapat reaksi sosial baik secara formal oleh aparat negara maupun secara informal oleh Lembaga Masyarakat secara mandiri. Dengan demikian reaksi sosial yang diberikan secara informal ini akan bersifat spontan dan dilakukan oleh potensi-potensi yang tersimpan dalam masyarakat itu sendiri sehingga mekanisme itu merupakan suatu bentuk dari apa yang disebut sebagai ”The Hidden And Latent Law Enforcement System” atau mekanisme penegakan hukum yang mengendap dan tersembunyi dalam batang tubuh masyarakat itu sendiri, keamanan menjadi tanggung jawab bersama antara Tokoh masyarakat dan masyarakatnya.

Dalam dimensi sosiologik, fungsi kepolisian terdiri atas pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dalam praktek kehidupan masyarakat dirasakan perlunya dan dirasakan manfaatnya, guna mewujudkan keamanan dan ketertiban di lingkungan sehingga dari waktu ke waktu dilaksanakan atas dasar kesadaran dan kemauan masyarakat sendiri secara swakarsa serta kemudian melembaga dalam tata kehidupan masyarakat.

Fungsi Kepolisian Sosiologik dalam masyarakat hukum adat dapat disebutkan antara lain : penguasa adat, dan kepala adat, sedangkan yang tumbuh dan berkembang sesuai kebutuhan masyarakat, antara lain berbagai bentuk satuan pengamanan lingkungan baik lingkungan pemukiman, pendidikan maupun lingkungan kerja.

III. Perkembangan CP dalam Tugas Kepolisian di beberapa Negara

1. Perkembangan Community Policing dalam Tugas Kepolisian

Pada dasarnya Community Policing yang berkembang saat ini besumber dari model yang berkembang di dua negara yaitu pertama, model Jepang yang kemudian dikembangkan di Singapura dan model Amerika yang kemudian berkembang diberbagai negara. Namun demikian dalam implementasi diberbagai negara kondisi dan budaya masing-masing negara sangat berpengaruh. Berikut ini akan dibahas perkembangan Community Policing di beberapa negara.

a. Kelahiran Polisi Metropolitan London (Inggris)

Pembentukan Metropolitan Police London oleh Sir Robert Peel pada 1829 dianggap oleh para pakar sebagai kelahiran Kepolisian moderen pertama di dunia. Dalam salah satu prinsip diantara 9 prinsip pembentukannya dinyatakan bahwa ”Polisi adalah masyarakat dan masyarakat adalah Polisi”, bahwa Polisi adalah sekelompok warga yang dibayar untuk bertugas secara penuh waktu untuk melaksanakan tugas pemeliharaan Kamtibmas yang merupakan kewajiban dan tanggung jawab warga, untuk menjamin kesejahteraan dan eksistensi masyarakat.

Dengan terbentuknya organisasi kepolisian tidaklah berarti warga kehilangan hak dan kewajiban dalam memelihara keamanan dan ketertiban. Warga tetap berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam pemeliharaan Kamtibmas. Oleh sebab itu masyarakat harus tetap dilibatkan sebagai mitra dalam berbagai aspek pemolisian. Untuk itu polisi harus dekat dengan warga yang dilayani.

Prinsip Robert Peel tersebut merupakan prinsip yang mendasari konsep Polmas. Pada masa ini hubungan Polisi dengan masyarakat sangat dekat dimana pelibatan masyarakat dalam tugas-tugas kepolisian sangat besar.

b. Perkembangan di Amerika Serikat

Setelah terbentuknya Kepolisian London, berbagai kota di Amerika Serikat segera menyusul membentuk organisasi Kepolisian dengan mencontoh Kepolisian London tersebut. Dalam perkembangannya Kepolisian yang semula sangat dekat dengan warga masyarakat secara berangsur menjadi jauh dan pada pertengahan abad-XX mencapai puncaknya dimana timbul konflik antara Polisi dengan warga yang terjadi di mana-mana. Alasan merosotnya hubungan Polisi dengan masyarakat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pertama, Gerakan reformasi pemerintah yang dimulai pada 1930-an yang menekankan prinsip-prinsip bahwa kewenangan Polisi harus didasarkan pada hukum.

Kedua, gerakan menuju profesionalisasi telah menyebabkan semakin terisolisasinya Polisi dari masyarakat yang dilayaninya.
Ketiga, gerakan anti korupsi melahirkan kebijakan tentang penugasan anggota Polisi yang sering dipindah tugas dari satu penugasan ke penugasan lainnya.
Keempat, kebijakan manajemen sentralistik yang bertujuan agar anggota mengikuti prosedur standar operasi yang ditetapkan oleh pusat.
Kelima, peningkatan penggunaan mobil patroli telah mengurangi kegiatan patroli jalan kaki secara signifikan. Polisi semakin jauh dan tidak mengenal dengan baik warga yang harus dilayaninya.

Keenam, Kemajuan teknologi Kepolisian terutama dibidang telekomunikasi, teknologi informasi, computer dan lain-lain semakin menjauhkan Polisi dari masyarakat.

Kebangkitan masyarakat di Amerika Serikat

Strategi pemolisian tradisional yang selama ini dijalankan Kepolisian di Amerika Serikat adalah pertama, patroli pencegahan ( preventive patrol ). Kedua, reaksi cepat ke TKP termasuk 911 ( quick response ), dan ketiga, penyidikan tindak pidana ( follow up investigation ); Dan ternyata tidak dapat menekan angka kejahatan.

Kegagalan ini dianalisa oleh 3 Presiden yang dibentuk antara tahun 1969 – 1973 yang kemudian merekomendasi agar dilakukan perubahan mendasar dalam pemolisian di Amerika Serikat.

Akumulasi dari tiga hal di atas yaitu, perubahan masyarakat yang sangat pesat, hubungan Polisi dengan warga yang menjadi semakin jauh, strategi pemolisian tradisional yang tidak efektif telah menyebabkan angka kriminalitas semakin meningkat dan tantangan tugas Kepolisian yang semakin besar.

Kesimpulan dari situasi ini adalah bahwa perpolisian tradisional yang dijalankan selama ini telah gagal dalam menjamin Kamtibmas yang didambakan warga sehingga perlu strategi baru dalam pemolisian mengingat penanggulangan kejahatan bukan tanggung jawab Polri semata.

c. Penelitian tentang Pemolisian pada tahun 1970-an

Sebagai upaya untuk mengatasi berbagai masalah tersebut di atas pemerintah Federal Amerika Serikat sejak tahun 1970-an mendorong pihak Universitas untuk melakukan penelitian tentang Kepolisian dengan biaya pemerintah Federal. Berbagai penelitian dilakukan oleh para pakar kampus yang bekerja sama dengan berbagai organisasi profesi kepolisian guna mendukung upaya penelitian untuk peningkatan cara-cara pemolisian, antara lain :

1) The Kansas City Preventive Patrol Study, yang dilakukan pada 1973 menemukan bahwa random patrol mempunyai dampak yang kecil terhadap kejahatan.

Salah satu saran penelitian ini adalah perlunya memanfaatkan waktu anggota patroli ketika sedang tidak menangani panggilan ke TKP. Waktu luang tersebut seharusnya digunakan untuk memelihara kedekatan polisi dengan warga, bermitra dengan warga masyarakat.

2) The Kansas City Response Time Study, mengevaluasi pentingnya reaksi cepat ke TKP. Dari studi tersebut bahwa :

a) Warga/korban menunda pelaporan kejahatan ke kantor polisi,
b) Jarang sekali ditemukan pelaku kejahatan masih berada di TKP ketika petugas datang,
c) Warga tidak keberatan terlambatnya kedatangan polisi ke TKP dengan alasan tertentu.

Studi ini menyimpulkan bahwa pertama, kedekatan /kemitraan dengan warga akan membantu polisi mendapat informasi dari warga, kedua, Polisi akan mengetahui harapan warga terhadap layanan polisi dan ketiga, manajemen perlu memikirkan ulang kebijakan mutasi anggota yang selama ini terlalu sering dilakukan.

Konsep Problem-oriented Policing (Pemolisian berorientasi masalah) diperkenalkan oleh Prof. Herman Goldstein pada 1979, konsep ini pada dasarnya melihat kejahatan sebagai puncak gunung es yang dibawahnya terdapat masalah dan akar masalah. Selama ini polisi cenderung menangani kasus-kasus kejahatan yang terjadi. Konsep ini menyarankan agar dilakukan analisa atas kejahatan yang terjadi agar dapat mengungkapkan akar masalah penyebab kejahatan. Menanggulangi akar masalah akan dapat menghilangkan berbagai kasus kejahatan yang terjadi berulang-ulang. Metode ini merubah cara penanganan kejahatan yang semula reaktif menangani kasus menjadi proaktif dengan menangani akar masalah kasus-kasus tersebut.

Metode pemecahan masalah yang populer digunakan antara lain menggunakan model SARA (Scanning, Analysis, Response, dan Assess) dan Segitiga Kejahatan (Crime triangle) yaitu analisa terhadap korban, lokasi dan pelaku, merupakan ketrampilan baru sebagai Crime Analyst dan menjadi penting dalam organisasi kepolisian.

Salah satu penelitian oleh Polisi San Diego adalah proyek Community-oriented Policing. Proyek ini merupakan studi pertama mengenai Community Policing. Dalam penelitian ini mulai diperkenalkan konsep “beat profiling”, para anggota yang bertugas disuatu lingkungan bersama warga mulai mempelajari topografi, demografi, dan sejarah situasi Kamtibmas wilayah tugasnya. Anggota diberikan kebebasan menetapkan patroli sesuai kondisi daerah masing-masing dan harapan warga. Penelitian ini menyarankan bahwa sangat penting untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi warga.

Berbagai hasil penelitian tersebut di atas ditambah dengan analisa sejarah perkembangan kepolisian menghasilkan kesimpulan : bahwa polisi harus kembali bermitra/bekerja sama dengan warga dan menggunakan pendekatan pemecahan masalah bersama warga, bila ingin berhasil dalam memelihara Kamtibmas. Dengan latar belakang hal-hal tersebut konsep Community Policing lahir dan diterapkan oleh berbagai organisasi Polisi di Amerika dan kemudian menyebar ke berbagai negara lain.

2. Pengertian ”Community Policing” (Universal)

”Community Policing” – adalah konsep yang rumit sehingga tidak dapat dijelaskan secara singkat dengan menggunakan berbagai kalimat saja. Para pakar dan berbagai organisasi Kepolisian juga memberikan rumusan yang berbeda tentang konsep ini.

US Department of Justice, Community Oriented Policing Service (COPS) memberikan definisi sebagai berikut :

Community policing adalah filosofi organisasi yang bercirikan pada pelayanan polisi seutuhnya, personalisasi pelayanan, dan desentralisasi dimana anggota ditempatkan secara tetap pada setiap komunitas, kemitraan polisi dengan warga secara proaktif dalam memecahkan masalah kejahatan, ketidak tertiban, ketakutan yang dihadapi warga, dengan tujuan untuk peningkatan kualitas hidup warga setempat.

Namun demikian pengertian Community Policing adalah lebih kompleks dari pada pengertian di atas. Community Policing adalah suatu filosofi organisasi yang kompleks dan membutuhkan penjelasan yang lebih luas dari berbagai pengertian yang diberikan di atas.

“Perpolisian”, atau “Policing” adalah istilah yang relatif baru, yang dimaksud dengan “Policing” dalam CP adalah proses kegiatan-kegiatan pemolisian secara keseluruhan.

Dengan demikian “policing” atau perpolisian adalah proses penyelenggaraan fungsi kepolisian yang dilakukan oleh berbagai pengemban fungsi kepolisian, sedangkan kata “police” atau polisi merujuk pada instansi kepolisian tertentu, seperti misalnya Polri atau berbagai organisasi lain yang mengemban fungsi kepolisian.

“Masyarakat” – atau “Community” dalam Community Policing sangat penting dipahami karena mempunyai pengertian yang khas. Pengertian ini dikaitkan dengan penyusunan organisasi Kepolisian dalam melaksanakan tugas pelayanan, upaya pencegahan-pencegahan kejahatan dan ketidak tertiban, dan mengurangi rasa takut akan kejahatan. Dalam konteks CP ”community” mengandung dua pengertian penting.

Pertama, masyarakat berdasar geografi (geographic community) yaitu suatu kelompok warga masyarakat yang berada secara tetap atau berdiam dalam suatu daerah tertentu. Daerah tersebut ditetapkan oleh Polisi dengan syarat antara lain luas daerah yang relatif kecil, mempunyai batas-batas yang jelas. Dalam menetapkan batas – batas daerah/komunitas ini Kepolisian harus memperhatikan agar keunikan geografi dan karakteristik sosial warga yang ada sedapat mungkin harus tetap dipertahankan.

Pada setiap ”geographic-community” tersebut polisi menempatkan satu atau lebih anggota polisi sesuai kebutuhan. Anggota ini berfungsi sebagai Petugas Polmas (Community Police Officer/CPO) bagi lingkungan tersebut.

Kedua, Dalam masyarakat yang lebih luas selalu terdapat kelompok berdasar kepentingan (community of interest). Mereka adalah sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dan nilai-nilai yang sama. Sebagai contoh adalah komunitas penggemar olahraga atau seni, komunitas suku tertentu, komunitas gay, komunitas berdasar profesi, komunitas pengemudi angkutan umum, kelompok minoritas, dan lain-lain. Kelompok ini selalu ada dan keberadaannya tidak mengenal batas-batas geografi tertentu. Kelompok-kelompok ini satu dengan lainnya mempunyai kepentingan yang berbeda sehingga berpotensi memicu konflik. Polisi harus mampu membina kelompok-kelompok tersebut agar tidak terjadi konflik. Kemampuan menyelesaikan konflik (conflic-resolution) merupakan salah satu ketrampilan yang harus dipunyai petugas polisi dalam rangka Polmas.

IV. Perpolisian Masyarakat (Polmas) = Community Policing di Indonesia

1. Dasar / Landasan Hukum

a. UUD 1945 perubahan Kedua Bab XII Pasal 30 :

(1) Tiap-tiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha … Keamanan negara.
(2) Usaha … Keamanan negara dilaksanakan melalui sistem … keamanan rakyat semesta oleh … dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan Rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
b. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri

· Pertimbangan huruf b

Pemeliharaan Keamanan Dalam Negeri …dilakukan oleh Polri selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

· Pasal 3 :

(1) Pengembangan fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh :

b. kepolisian khusus.

c. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau

d. bentuk-bentuk pengawasan swakarsa.

(2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c, melaksankan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

c. Skep Kapolri No. Pol. : Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

2. Pengertian Community Policing (Perpolisian Masyarakat di Indonesia)

Konsep ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan beberapa istilah yaitu antara lain Community based policing, Community-oriented policing, Neighbourhood-oriented policing dan Community policing. Berbagai istilah yang digunakan tersebut mempunyai pengertian yang sama. Diantara istilah tersebut Community Policing adalah istilah yang paling sering digunakan. Populernya istilah Community Policing dari pada istilah lainnya disebabkan oleh karena istilah Community Policing lebih sederhana.

Dalam terjemahan ke bahasa Indonesia para pakar menggunakan beberapa istilah seperti Pemolisian-Berorientasi Masyarakat, Pemolisian Komuniti, Pemolisian Komunitas, Pemolisian Masyarakat, dan Perpolisian Masyarakat (Polmas). Perkembangan terakhir mengenai peristilahan ini adalah secara resmi Polri menggunakan istilah Perpolisian masyarakat atau Polmas. Istilah Polmas sebenarnya menurut Skep Kapolri No. Pol. : Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005, bukan merupakan singkatan dari Perpolisian Masyarakat tetapi suatu istilah yang diharapkan akan menggantikan berbagai istilah terjemahan Community Policing yang ada sekarang ini.

“Tanpa mengenyampingkan kemungkinan penggunaan terjemahan istilah yang berbeda terutama bagi keperluan akademis, secara formal oleh jajaran Polri, Model tersebut diberi nama “Perpolisian Masyarakat” dan selanjutnya secara konseptual dan operasional disebut “Polmas”. (Lampiran Skep Kapolri No. Pol. : Skep/737/X/2005).

Dengan demikian berbagai istilah Perpolisian Masyarakat atau Polmas dalam bahasa Indonesia dan istilah-istilah mengenai Community Policing dalam bahasa Inggris mempunyai pengertian yang sama.

a. Konsep Polmas mencakup 2 (dua) unsur : perpolisian dan masyarakat. Secara harfiah, perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata “policing” berarti segala hal ihwal tentang penyelenggaraan fungsi kepolisian. Dalam konteks ini perpolisian tidak hanya menyangkut operasional (taktik/teknik) fungsi kepolisian tetapi juga pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh mulai dari tataran manajemen puncak sampai manajemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filsafati yang melatar belakanginya.

b. Masyarakat yang merupakan terjemahan dari kata “Community” (komunitas) dalam konteks Polmas, berarti :

1) Warga masyarakat atau komunitas yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya (geographic community), Batas wilayah komunitas ini harus dilakukan dengan memperhatikan keunikan karakteristik geografis dan sosial dari suatu lingkungan dan terutama keefektifan pemberian layanan kepada warga masyarakat. Wilayah tersebut dapat berbentuk RT. RW, Desa, Kelurahan, ataupun berupa pasar/pusat belanja/mall, kawasan industri, pusat/kompleks olahraga, stasiun bus/kereta api dan lain-lain.

2) Dalam pengertian yang diperluas masyarakat dalam pendekatan Polmas dapat meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah yang lebih luas seperti keamanan bahkan kabupaten/kota, sepanjang mereka memiliki kesamaan kepentingan. Sebagai contoh kelompok berdasar etnis/suku, kelompok berdasar agama, kelompok berdasar profesi, hobby dan sebagainya. Kelompok ini dikenal dengan nama komunitas berdasar kepentingan (community of interest).

3. Strategi dan Falsafah Polmas

“Sebagai suatu Strategi”, Polmas berarti : Model perpolisian yang menekankan kemitraan yang sejajar antara petugas Polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat setempat, dengan tujuan : untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan akan kejahatan serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat.

a. Dalam pengertian ini, masyarakat diberdayakan sehingga tidak lagi semata-mata sebagai obyek dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian melainkan sebagai subyek yang menentukan dalam mengelola sendiri upaya penciptaan lingkungan yang aman dan tertib bagi ketenteraman dan keselamatan kehidupan bersama mereka yang difasilitasi oleh petugas kepolisian yang berperan sebagai petugas Polmas dalam suatu kemitraan.

· Pemberdayaan warga dalam pemeliharaan Kamtibmas. Bahwa pemeliharaan Kamtibmas pada awalnya menjadi tanggung jawab beberapa lembaga masyarakat yaitu : keluarga, sekolah, pemuka agama, dan individu-individu yang dibentuk oleh polisi. Keadaan ini secara berangsur berubah hingga pada suatu saat cenderung menjadi semata-mata tanggung jawab polisi. Dalam prosesnya polisi cenderung mengedepankan tindakan penegakan hukum, daripada pemeliharaan ketertiban dan pencegahan kejahatan.

· Maka “Polmas” membalik kecenderungan ini dengan meminta agar masyarakat umum harus kembali ikut bertanggung jawab dan menangani berbagai kondisi penyebab terjadinya kejahatan. Upaya penegakan hukum semata-mata tidak akan mampu menangkal kejahatan atau menghilangkan penyebab terjadinya kejahatan. Berbagai tokoh dan lembaga dalam masyarakat seperti-keluarga, orang tua, guru sekolah dan agama, pimpinan lembaga kemasyarakatan, para pengusaha-harus ikut secara aktif bersama Polisi dalam pemeliharaan ketertiban, pencegahan kejahatan, dan kegiatan pemolisian lainnya.

· Untuk kembali memberdayakan warga masyarakat sebagai mitra Polisi dalam menangani masalah Kamtibmas, kedua pihak harus siap melakukan perubahan besar. Polisi harus mengakui bahwa mereka tidak akan mampu melakukan tugasnya sendirian, mengakui bahwa warga mempunyai sumberdaya yang dapat digunakan, dan harus memahami pentingnya input dan partisipasi warga masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan warga. Gaya manajemen Kepolisian harus dirubah untuk mau menerima umpan balik dari warga, serta melakukan konsultasi dengan perwakilan warga. Apabila dilakukan dengan baik maka proses ini akan berdampak pada dukungan warga terhadap berbagai kegiatan Polisi.

· Dipihak warga masyarakat, harus siap diberdayakan untuk menerima tantangan dan tanggung jawab dibidang pemeliharaan Kamtibmas dilingkungan masing-masing bersama para petugas Polmas. Pemberdayaan dianggap berhasil apabila individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat mampu berpartisipasi dan ikut mempengaruhi keputusan yang diambil serta ikut bertanggung jawab dalam upaya pemeliharaan Kamtibmas.

· Partisipasi warga ini, tidak berarti bahwa mereka boleh main hakim sendiri dalam upaya penegakan hukum, tetapi bahwa mereka akan bekerja sama dengan Polisi dalam berbagai kegiatan, sebagai contoh :

– Identifikasi masalah dan menyusun prioritas penanganan masalah yang menjadi keprihatinan warga.

– Menyusun dan menerapkan solusi yang efektif terhadap masalah tersebut.

– Menetapkan prioritas alokasi sumberdaya.

– Melakukan evaluasi dan bila perlu penyesuaian kegiatan sesuai kebutuhan untuk menjamin tercapainya sasaran kepolisian.

b. Dalam pengertian pengelolaan terkandung makna bahwa masyarakat berusaha menemukan, mengidentifikasi, menganalisis dan mencari jalan ke luar pemecahan masalah-masalah gangguan keamanan dan ketertiban termasuk pertikaian antar warga serta penyakit masyarakat dan masalah sosial lain yang bersumber dari dalam kehidupan mereka sendiri bagi terwujudnya suasana kehidupan bersama yang damai dan tenteram.

c. Operasionalisasi konsep Polmas pada tataran lokal memungkinkan masyarakat setempat untuk memelihara dan menumbuh kembangkan sendiri pengelolaan keamanan dan ketertiban yang didasarkan atas norma-norma sosial dan/atau kesepakatan-kesepakatan lokal dengan mengindahkan peraturan-peraturan hukum yang bersifat nasional dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM (Hak Asasi Manusia) dan kebebasan individu yang bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.

“Sebagai suatu Falsafah”, Polmas juga mengandung makna suatu model perpolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial/kemanusiaan dan menampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga dalam rangka mewujudkan kondisi yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Polmas pada dasarnya sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Siskamswakarsa yang dalam pengembangannya disesuaikan dengan ke-kini-an penyelenggaraan fungsi kepolisian dalam masyarakat madani sehingga tidak semata-mata merupakan pengadopsian dari konsep (Community Policing).

Mengacu pada uraian di atas, Polmas pada hakikatnya mengandung 2 (dua) unsur utama yaitu :

1) Membangun kemitraan antara polisi dan masyarakat.

2) Menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat lokal.

4. Tujuan Penerapan (Implementasi) Polmas

a. Penerapan Polmas bertujuan untuk mewujudkan kerjasama antara polisi dan masyarakat lokal (komunitas) guna menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketenteraman umum dalam kehidupan masyarakat setempat.

b. Menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial, mengandung makna bukan hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan ke luar pemecahan permasalahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban yang bersumber dari komunitas itu sendiri serta dalam batas-batas menyelesaikan pertikaian antar warga sehingga tidak memerlukan penanganan melalui proses formal dalam sistem peradilan pidana.

c. Mewujudkan ketenteraman umum, mengandung makna bahwa yang dituju oleh Polmas bukan hanya sekedar ketiadaan gangguan faktual terhadap keamanan dan ketertiban tetapi perasaan takut warga dalam kehidupan bersama dalam komunitas mereka.

d. Kerjasama polisi dan masyarakat, mengandung makna bukan sekedar bekerja bersama dalam operasionalisasi penanggulangan kejahatan dan ketidak tertiban sosial tetapi juga meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup keseluruhan proses manajemen, mulai dari perencanaan sampai pengawasan pengendalian dan analisis/evaluasi atas pelaksanaannya. Karena itu sebagai suatu tujuan kerjasama tesebut merupakan proses yang terus menerus tanpa akhir.

e. Mencegah kejahatan berbasis warga, guna meniadakan Niat (N) dan Kesempatan (K) jahat agar tidak menjadi Kejahatan /Kriminalitas /Crime (N+K=C) adalah tujuan utama dari Polmas, dan karena warga tinggal dalam suatu lingkungan maka sistem keamanan lingkungan merupakan andalan utama pencegahan kejahatan. Dalam pengertian Kepolisian London Keamanan Lingkungan meliputi :

1) Public Surveilance, warga dalam suatu lingkungan dianjurkan untuk menjadi mata dan telinga polisi yaitu mengawasi orang-orang dan kendaraan yang mencurigakan untuk dilaporkan kepada polisi.

2) Property Marking, polisi meminjamkan alat mereka kepada warga agar dapat memberi tanda pada barang-barang berharga miliknya. Pemberian tanda dilingkungan dengan menuliskan nama atau tanda lain agar mudah dikenali ulang.

3) Home security, polisi mengunjungi rumah warga bertanya tentang berbagai hal dan memberikan saran-saran pengamanan rumah dan lingkungan warga.

Sistem keamanan lingkungan yang selama ini diterapkan selalu dibentuk dan diorganisir warga dengan mendapat bantuan polisi. Keamanan lingkungan ini berbentuk Satpam, Ronda Kampung, Hansip dan berbagai nama. Berbagai perusahaan besar juga telah membentuk satuan pengamanan sendiri. Akhir-akhir ini juga telah berkembang badan usaha jasa pengamanan yang menawarkan berbagai bentuk pengamanan berdasarkan kontrak.

5. Komponen utama Polmas (Hakikat dan Prinsip Polmas)

a. Kemitraan Masyarakat (Community Partnership)

Prinsip ini mendukung pengembangan kemitraan yang sejajar antara polisi dengan berbagai kelompok warga yang ada untuk bekerja sama dan berkonsensus dalam memecahkan masalah. CP menuntut dibangunnya kemitraan baru antara polisi dengan warga didasarkan pada saling menghargai, persamaan, tulus dan setara. Sebelum kemitraan dapat dicapai terlebih dahulu perlu dibangun saling percaya (trust) antara warga dengan polisi.

Kepercayaan / trust adalah keyakinan akan satunya kata dengan perbuatan. Organisasi polisi harus membuktikan integritasnya, bahwa apa yang dijanjikan kepada warga benar-benar dilaksanakan. Saling percaya yang terbentuk akan mengurangi saling curiga antara polisi dengan warga, dan merupakan fondasi yang kuat untuk membangun kerjasama polisi dengan warga, didasarkan pada saling pengertian dan saling menghormati. Membangun kepercayaan adalah suatu proses yang lama terlebih bila kecurigaan antara kedua pihak sudah berlangsung lama dan mendalam.
Tujuan utama kemitraan adalah untuk menciptakan dan memelihara saling percaya (mutual trust) antara polisi, pejabat pemerintah lokal, dan warga masyarakat. Membangun saling percaya adalah langkah yang sangat sulit dan memerlukan upaya yang terus menerus.

Kemitraan masyarakat

Ditandai oleh :

Hubungan positif dengan warga.
Pelibatan warga dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan.
Penanganan atas masalah mendesak yang dihadapi warga.
Tanggung jawab bersama dalam menetapkan solusi atas masalah warga.
Kontak dengan warga dalam hal-hal yang bermanfaat.
Komunikasi yang tulus dalam rangka pemecahan masalah.
Kepercayaan, karena yakin pada upaya polisi.
Pertukaran informasi antara polisi dengan warga dan sebaliknya.

Kemitraan dalam pencegahan.

Informasikan tentang cara menghindari agar tidak menjadi korban kejahatan.

Informasikan tentang trend kejahatan setempat.

Polisi berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan kota.

Menggalakkan Siskamswakarsa.

Tingkatkan kehadiran polisi ditengah warga.

Faktor yang mempengaruhi kemitraan :

Sikap polisi ditengah warga.

Penanganan laporan warga.

Penanganan tersangka /pelaku kejahatan.

Penanganan korban kejahatan.

Sebagai Contoh :

– Info tentang adanya 955 Kg Heroin di Teluk Naga.

– Info tentang gembong Narkoba di Warakas

– Info tentang pabrik ecstasy di Jatim /Banyuwangi

– Dan lain-lain pengungkapan kasus kriminalitas oleh Polri adalah berkat jalinan hubungan baik antara Polisi dan masyarakat (Kemitraan).

b. Pemecahan masalah (Problem Solving)

Yang dimaksud dengan masalah adalah sekelompok kejadian yang serupa dalam beberapa karakteristik dan merupakan perhatian dari polisi dan warga (”a group of incidents that are similar in one or more ways and are of concern to the police” Goldstein, 1979). Pemecahan masalah adalah suatu proses untuk mengidentifikasi dan menetapkan, dengan cara kerjasama, masalah warga secara spesifik beserta penyebab-penyebabnya. Dengan demikian maka pemecahan masalah yang sesuai dapat dirancang. Keberhasilan pemecahan masalah dapat dilihat dari hasil kualitatif yaitu tuntasnya masalah yang dihadapi dan tidak hanya pada hasil kuantitatif yaitu jumlah kasus yang berhasil ditangani.

Dalam Polmas maka Para petugas Polmas dipersyaratkan mempunyai ketrampilan pemecahan masalah, bersama warga setempat mereka perlu mendapatkan pelatihan tentang pemecahan masalah. Acuan pemecahan masalah terutama konsep problem-oriented Policing yang disampaikan oleh Prof.Herman Goldstein (1979).

Setelah saling percaya (trust) berhasil dibangun, Polisi dan warga akan lebih mudah bekerja sama untuk memecahkan masalah kejahatan, ketakutan akan kejahatan, dan masalah kualitas lingkungan hidup. Agar terjamin keberhasilannya, Proses problem solving memerlukan kerjasama, trust, dan komitmen dari semua pihak terkait.

Proses pemecahan masalah akan meningkatkan kepercayaan dan pertukaran info antara polisi-masyarakat. Effektivitas pemolisian tergantung hasil pemecahan masalah warga dibidang Kamtibmas.

· Pengertian masalah

Masalah adalah kondisi yang mengejutkan, merugikan, mengancam, menyebabkan ketakutan, atau cenderung menyebabkan ketidak tertiban dalam masyarakat yang sepintas lalu berbeda/tidak terkait tetapi memiliki karakteristik yang sama, seperti pola, korban, atau lokasi yang sama atau mirip.

· ”Masyarakat ” dalam Polmas :

Kumpulan warga dalam suatu daerah geografis yang kecil dengan batas-batas yang jelas.
Ditetapkan dengan memperhatikan agar keunikan karakter sosial dan geografis tetap dipertahankan.
Tujuan agar pelayanan polisi efisien.

· Masyarakat berdasarkan kepentingan :

Dalam setiap masyarakat selalu terdapat sejumlah kelompok /masyarakat berdasarkan kepentringan seperti kelompok berdasar suku bangsa, agama, sekolah, profesi, dan lain-lain (Community of interest).
Polisi harus waspada karena perbedaan kepentingan dapat menimbulkan konflik.
Polisi harus mampu mengatasi potensi konflik yang mungkin terjadi.

· Perpolisian berorientasi masalah

Model SARA dalam pemecahan masalah :

Identifikasi masalah (Scanning).
Pahami kondisi penyebab masalah (Analysis).
Kembangkan dan implementasikan solusi (Response).
Penilaian keadaan sebagai dampak implementasi solusi (Assess).

· Kegiatan warga dalam upaya untuk menanggulangi berbagai masalah Kamtibmas, antara lain :

Partisipasi dalam pengaturan kegiatan pengamanan lingkungan (Siskamling).
Melaporkan segala informasi tentang Kamtibmas kepada Pospol dan petugas Polmas terutama orang-orang dan kegiatan-kegiatan yang mencurigakan.
Berpartisipasi sebagai sukarelawan sewaktu-waktu dibutuhkan, menghubungi Pospol dalam rangka pengamanan wilayah Pospol.
Aktif dalam kegiatan FKPM (Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat).

Beberapa tahun belakangan, lembaga-lembaga donor yang memberi dukungan dalam proses reformasi Polri menawarkan bantuan dana untuk proyek-proyek pengembangan Community Policing. Polda NTB yang bekerjasama dengan Universitas Negeri Mataram merupakan satuan organisasi Polri yang pertama kali (2001) menagkap peluang tersebut dengan menyelenggarakan proyek yang disebut ”Pengembangan Kepolisian Nasional Berorientasi Masyarakat Lokal” atas dukungan biaya ”Partnership”.

Setelah itu sejumlah Polda menyelenggarakan proyek serupa, misalnya Polda Kalbar, Polda Jawa Timur, dan Polda Jawa Barat dengan mengimplementasikan Community Policing dengan membangun Forum Kemitraan Polisi Masyarakat pada tingkat Polsek atas dukungan biaya dari Internasional Organization for Migration (IOM). Polda Metro Jaya/Polres Bekasi mengembangkan program Community Policing dengan mengadopsi pola ”Koban” di Japang atas dukungan biaya Jepang International Coordination Agency (JICA). Polda DIY mengembangkan program Community Policing dengan dukungan biaya the Asia Foundation.

· Sebagai contoh :
– Beberapa Polsek tertentu di Indonesia mengalami penurunan angka kejahatan.
– Beberapa masalah-masalah sosial yang diselesaikan bersama warga, antara lain : Kenakalan remaja; pencegahan Narkoba di RT RW, Kelurahan; perselisihan antar warga, dll.

Penerapan model Community Policing melalui berbagai proyek disamping positif, namun masih memerlukan penataan lebih lanjut guna Sinkronisasi dalam Implementasinya.

6. Program Implementasi /Penerapan dan Pengembangan Polmas

a. Internal (Polri)

1) Mengembangkan Sistem Pembinaan Sumderdaya Manusia khusus bagi petugas Polmas yang meliputi :

Rekrutmen.

Pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para pelatih (Master trainers) maupun petugas Polmas.

Pembinaan karier secara berjenjang dari tingkat kelurahan sampai dengan supervisor dan pembina Polmas tingkat Polres dan seterusnya.

Penilaian kinerja dengan membuat standar penilaian baik untuk perorangan maupun kesatuan.

Penghargaan dan penghukuman.

2) Menyelenggarakan program-program pendidikan dan pelatihan Polmas secara bertahap sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan.

3) Meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tugas Polmas.

4) Menyediakan dukungan anggaran yang memadai dalam pelaksanaan tugas Polmas.

5) Mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi penerapan Polmas sehingga :

(a) Setiap aktivitas layanan kepolisian mencerminkan suatu pendekatan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

(b) Setiap anggota Polri dalam tampilan di tempat umum menunjukkan sikap dan perilaku yang korek serta dalam kehidupan di lingkungan pemukiman/kerja senantiasa berupaya membangun hubungan yang harmonis dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

6) Mengembangkan program-program yang sejalan dengan program Polmas pada satuan-satuan fungsi operasional kepolisian tingkat Polres ke atas.

7) Dalam rangka Implementasi Polmas para Kapolres/Kapolsek perlu memedomani buku Manual Polmas yang diterbitkan IOM. Sebagai pedoman, implementasinya sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi masing-masing kesatuan. Walaupun pedoman ini disiapkan untuk Polsek/Polres namun pedoman ini dapat diterapkan pada Organisasi setingkat Polda khususnya mengenai langkah-langkah internal. Peran aktif para Kapolres dan pejabat teras Polres/Polda dalam menggerakkan /memimpin proses implementasi sangat menentukan keberhasilan Polmas di lingkungannya masing-masing, melalui kegiatan antara lain :

(a) Bentuk Tim Implementasi.

Tim ini terdiri dari unsur pimpinan Polres, dan perwakilan dari berbagai fungsi baik operasional maupun pembinaan. Dapat juga mengikutsertakan perwakilan warga setempat yang merupakan stakeholders kepolisian

(b) Lakukan audit internal.

Tim melakukan internal audit tentang kondisi organisasi dalam kaitannya dengan konsep, prinsip, dan komponen Polmas. Untuk itu perlu dilakukan survey organisasi dengan kuesener untuk diisi oleh anggota pada berbagai tingkat pangkat maupun organisasi. Kegiatan ini dilakukan secara berkala untuk memonitor kemajuan Polres dalam implementasi Polmas.

(c) Analisa hasil audit.

Berbagai temuan kemudian dianalisa oleh tim dan disimpulkan dengan menggunakan konsep Polmas sebagai acuannya.

(d) Informasikan hasil audit kepada anggota.

Hasil audit kemudian disampaikan kepada anggota secara terbuka untuk mendapatkan komentar dan kemudian disempurnakan.

(e) Susun rencana kerja perubahan internal.

Berdasarkan hasil audit disusun rencana kerja untuk melakukan program perubahan organisasi yang meliputi strategi, struktur, dan budaya.

(f) Implementasikan rencana kerja dan evaluasi kemajuannya.

Tim implementasi secara aktif mengendalikan, memonitor, dan melakukan evaluasi agar implementasi berjalan sesuai dengan rencana.

(g) Susun profil masyarakat dalam lingkup Polres, Polsek, bahkan lingkup Desa / Kelurahan. Profil ini berisi informasi mengenai situasi daerah, antara lain : analisa kependudukan, analisa tingkat pengangguran, analisa kejahatan / Kamtibmas, dan lain – lain. Profil masyarakat ini harus dibuat secara berkala dan melibatkan masyarakat dalam penyusunannya. Bentuk survei masyarakat merupakan suatu cara untuk melibatkan warga dalam penyusunan profil masyarakat.

(h) Susun rencana kerja eksternal.

Tim melakukan pertemuan untuk menyusun kegiatan eksternal Polmas. Tim membagi tugas diantara mereka, menetapkan indikator keberhasilan, dan memonitor hasilnya.

8)Penempatan anggota Polmas di Kelurahan /Desa.

Upaya peningkatan saling percaya antara Polisi dengan warga masyarakat sangat penting agar tercipta kemitraan yang tulus, didasarkan pada kesetaraan, dan saling menghormati. Polisi harus memahami budaya masyarakat tempat bertugas, mereka harus sensitif pada penduduk multikultur yang harus dilayani, dan mampu berinteraksi secara positif dengan mereka. Untuk menjamin hal tersebut pada setiap lingkungan warga ditugaskan Petugas Polmas sesuai kebutuhan secara permanen. Mereka merupakan petugas Polmas atau Community Police Officer (Trojanowicz, 1998), atau Neighbourhood Police Officer (Bayley, 1994).

Penugasan petugas Polmas pada suatu lingkungan untuk jangka waktu yang lama, dengan kontak-kontak tatap muka yang sering terjadi, akan menghasilkan saling pengertian dan kepercayaan. Tindak lanjut secara konsisten, informasi kepada warga tentang kegiatan Polisi, pemberian penghargaan atas peranan dan partisipasi mereka akan mempertebal kepercayaan mereka kepada Polisi. Dengan peningkatan interaksi Petugas Polmas dengan warga, para Petugas Polmas akan berintegrasi dan menjadi bagian dari warga yang mengenal mereka dengan baik.

Apabila masyarakat telah mengenal dan mendukung Petugas Polmas, maka warga akan melihatnya sebagai penegak nilai masyarakat setempat, sebagai Polisi mereka, sehingga tindakan Polisi tidak saja berdasar hukum tetapi juga berdasar mandat dan dukungan warga.

Sebagai Polisi dengan wewenang penuh, para Petugas Polmas tetap melakukan tugas-tugas Kepolisian umum termasuk melakukan penangkapan untuk diserahkan kesatuan atas, namun fokus utamanya adalah bersama warga mengembangkan dan memonitor upaya pemecahan masalah dan peningkatan kualitas hidup warga setempat.

Contoh :

Pembentukan Petugas Polmas pada berbagai negara dianggap sangat penting sehingga di Jepang jumlah Petugas Polmas terus menerus ditambah dan pada April, 2004 mencapai 36% atau 88.000 orang dari 245.000 anggota Kepolisian Jepang. Sedangkan di Amerika Serikat pada masa Presiden Clinton sejumlah 100.000 orang anggota baru direkrut untuk menjadi Petugas Polmas.

b. Eksternal (Masyarakat)

1) Mengadakan kerjasama dengan pemerintah daerah, DPRD dan instansi terkait lainnya.

2) Membangun dan membina kemitraan dengan tokoh-tokoh sosial termasuk pengusaha, media massa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dalam rangka memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan program-program Polmas.

3) Meningkatkan program-program sosialisasi yang dilakukan petugas Polmas dan setiap petugas dan satuan-satuan fungsi guna meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan stabilitas Kamtibmas.

4) Membentuk Forum Kemitraan Polisi – Masyarakat (FKPM) sebagai wadah kerjasama antara polisi dengan masyarakat yang mengoperasionalisasikan Polmas dalam lingkungannya, dengan kegiatan antara lain :

a) Fasilitasi pembentukan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat / FKPM.

Tim implementasi memfasilitasi pembentukan FKPM pada berbagai tingkat Desa / kelurahan, Polsek, dan bila perlu pada tingkat Polres. Disarankan untuk memulai pada tingkat yang paling “mudah” yaitu Polsek. Berbagai kelompok masyarakat berdasarkan kepentingan dan kelompok lain harus diundang untuk menjamin agar FKPM benar-benar mewakili warga.

b) Adakan rapat perwakilan warga.

Selanjutnya pada tiap Polsek adakan rapat yang dihadiri oleh berbagai unsur perwakilan warga. Rapat ini akan memilih perwakilan warga yang akan duduk dalam FKPM.

c) Rapat memilih anggota dan pengurus FKPM.

Kelompok warga yang terpilih tersebut di atas selanjutnya mengadakan pertemuan untuk memilih Pengurus FKPM yang terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan anggota-anggota lainnya. Disarankan bahwa Ketua dijabat warga masyarakat sedangkan untuk Polisi menjadi wakil ketua dan sekretaris.

d) Susunan AD/ART FK PM.

Adanya AD/ART merupakan suatu hal yang penting dalam suatu organisasi. Kedua hal ini akan mengatur berbagai kegiatan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.

e) Fungsi FKPM.

Secara umum fungsi, tugas dan tanggung jawab FKPM adalah sebagai wadah untuk meningkatkan akuntabilitas polisi kepada warga, memonitor kinerja polisi, memberi saran prioritas-prioritas lokal, harapan-harapan warga dalam pemolisian. Fungsi FKPM yang utama adalah sebagai wadah partisipasi dan kemitraan masyarakat dalam pemolisian, wadah pemecahan masalah oleh polisi bersama warga, wadah komunikasi dan konsultasi polisi terhadap warga.

5) Membangun jaringan koordinasi dan kerjasama antara Forum Kemitraan Polisi – Masyarakat dengan kesatuan Polri setempat termasuk memantau, mengawasi/mengendalikan, memberikan bimbingan teknis dan arahan serta melakukan penilaian atas keefektifan program Polmas.

6) Menyelenggarakan program-program Polmas pada komunitas-komunitas sehingga secara bertahap dapat diimplementasikan pada setiap lingkungan kehidupan masyarakat lokal.

7) Membentuk Pusat Studi Polmas di lingkungan PTIK yang berfungsi sebagai pusat kajian dan informasi serta sarana pengembanganyang berkaitan dengan Polmas.

7. Enam Stakeholders Utama dalam Perpolisian Masyarakat (Polmas)

Polmas tidak akan berhasil tanpa partisipasi masyarakat dalam proses implementasinya. Komponen-komponen masyarakat tertentu mempunyai peranan yang sangat penting untuk menjamin keberhasilan Polmas. Keenam komponen dibawah ini adalah unsur-unsur utama warga yang terlibat dalam proses Polmas dan secara aktif harus bekerjasama agar program dan kegiatan Perpolisian Masyarakat dapat berhasil dengan baik.

a. Kepolisian – harus melakukan perubahan strategi, struktur dan budaya organisasi agar menjunjung pelaksanaan Polmas. Sebagai contoh dibidang pembinaan personel sejak rekrutmen, seleksi, pendidikan, evaluasi, dan sistem penghargaan/reward-system harus dilakukan penyesuaian agar sejalan dengan filosofi Polmas.

b. Warga masyarakat – harus menjadi mitra aktif, menyediakan sumber daya manusia dan materiil, termasuk sukarelawan uintuk menghadapi masalah yang dihadapi warga sehingga masalah yang ada tidak berkembang menjadi kejahatan. Perwakilan warga harus aktif dalam rapat Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat yang membahas berbagai masalah warga. Warga masyarakat harus melaksanakan tanggung jawabnya dibidang Kamtibmas terutama dalam upaya pengamanan diri dan lingkungannya.

c. Pemda dan DPRD – Pimpinan /elit politik sangat penting. Para Pimpinan politik harus mendukung konsekuensi yang harus dipikul agar Community Policing dapat berjalan. Sebagai contoh apabila akan mengedepankan kegiatan pro-aktif maka harus dimengerti bahwa kedatangan polisi ke TKP/response time akan menjadi lebih lambat terutama pada kejadian yang biasa. Pimpinan politik harus mendukung CP dengan memasukkan CP dalam program Pemda, serta menyiapkan sumberdaya yang diperlukan. Pemda dan DPRD harus mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk mendukung kegiatan CP terutama Forum Kemitraan Polisi Masyarakat.

d. Komunitas Usaha – Para pengusaha/komunitas bisnis dapat mendukung sumber daya dalam bentuk sukarelawan dan dukungan keuangan. Perusahaan setempat secara wajar perlu mengadakan program untuk memajukan lingkungan tempat usaha sebagai bentuk partisipasi terhadap kemajuan lingkungan warga. Suatu lingkungan yang aman dan tertib akan menjamin kelancaran produksi dan kemajuan usaha.

e. Instansi lain – Karena community Policing menekankan pada kemitraan, berbagai pihak lain seperti rumah sakit, sekolah, pusar kesehatan masyarakat dapat mendukung dengan berbagai pelayanan yang dapat mengurangi beban kerja yang dihadapi petugas/Community Police Officers. Para pihak ini harus melibatkan diri pada kegiatan forum Kemitraan.

f. Media – Media Massa sangat penting karena dapat membantu mendidik warga tentang konsekuensi Community Policing, menekankan pentingnya warga untuk bekerja sama sebagai mitra dengan Polisi.

8. Diseminasi dan Sosialisasi Konsep Polmas.

Pemahaman yang baik tentang konsep Polmas adalah sesuatu yang mutlak dilakukan sebelum kegiatan lainnya. Para pejabat, Perwira, Bintara dan Pegawai Negeri Sipil (PNS Polri) harus mempunyai pemahaman yang sama tentang Polmas. Walaupun diakui masih terdapat perbedaan dalam penerapan Polmas namun hakikat /komponen /prinsip-prinsip seperti kemitraan dan pemecahan masalah tetap ada dan perlu dikembangkan terus.

Diseminasi /Sosialisasi dilakukan terutama pada berbagai Lembaga Pendidikan baik bagi anggota baru maupun dalam berbagai jenjang pendidikan Polri. Para petugas di lapangan perlu diberikan pemahaman ini di daerah tempat tugasnya.

IOM (International Organization for Migration) telah melakukan pelatihan dan implementasi di tujuh Polres selama tiga tahun terakhir yang hingga saat ini masih berlangsung. JICA /Jepang melaksanakannya di Bekasi selama empat tahun terakhir walaupun baru meliputi beberapa Polsek. Berbagai organisasi donor seperti JICA/Jepang, Asia Foundation, Partnership for Government Reform, UNHCR diwaktu yang lalu juga telah melakukan proyek percontohan dalam penerapan Polmas.

Mengingat luas dan besarnya organisasi Polri, diperkirakan sosialisasi akan memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit, karenanya diperlukan dukungan dari berbagai pihak guna sosialisasi dan Implementasinya diseluruh Indonesia.

V. Penutup

Penerapan Polmas adalah komitmen jangka panjang, penerapan Polmas tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa dalam waktu singkat. Diperlukan perencanaan yang baik, fleksibilitas, waktu yang cukup dan kesabaran untuk dapat membangun kemitraan polisi dan masyarakat.

Manajemen kepolisian bertanggung jawab untuk melakukan Diseminasi /Sosialisasi kepada jajaran internal Polri maupun pihak luar Polri untuk memantapkan pemahaman tentang Polmas. Berbagai ketrampilan baru perlu dilatihkan kepada anggota baik di bidang operasional maupun manajemen sebelum dapat menerapkan Polmas dengan baik.

Kemajuan implementasi, keberhasilan dan kegagalan harus terus menerus dikomunikasikan kepada para stakeholders perpolisian agar mereka tetap terlibat. Pimpinan Polri harus terus meyakinkan para stakeholders, bahwa keberhasilan Polmas sangat tergantung pada upaya bersama yang berkesinambungan antara Polri, Pemda, lembaga masyarakat, pengusaha, dan media masa.


Kerjasama antara para stakeholders adalah hal yang mutlak dalam Implementasi Polmas guna mewujudkan situasi Kamtibmas yang kondusif demi terpeliharanya Keamanan Dalam Negeri.


(dikutip dari internet)

Panjang sekali artikelnya. Singkatnya seperti apa?disini atau disini atau disini atau disini atau disini atau disini atau disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar